Islam hadir sebagai Rahmatan lil ‘Alamin, rahmat bagi alam semesta dan penghuninya. Oleh karena itu, semua amal ibadah yang diwajibkan kepada umatnya memiliki dua dimensi, yaitu dimensi ketuhanan dan kemanusiaan (hablum minallah wa hablum minannas) atau bahasa lainnya adalah kesalehan individu dan kesalehan sosial. Yang dimaksud dengan kesalehan individu adalah menjalani hubungan yang baik antara individu umat Islam dengan Allah SWT sebagai Sang Pencipta. Sedangkan kesalehan sosial adalah menjalani hubungan yang baik antara individu umat Islam dengan sesama manusia yang lain.
Demikian juga halnya dengan ibadah puasa. Meskipun di dalam ibadah puasa penekanan untuk menjadi saleh secara individu lebih besar, akan tetapi kesalehan secara sosial juga tidak dikesampingkan. Dikatakan kesalehan individu lebih besar karena ibadah puasa ini dijalankan secara rahasia tanpa diketahui oleh siapa pun. Hal tersebut karena tidak ada tanda, gejala, gerakan atau simbol apapun yang melekat pada seseorang yang berpuasa, sehingga tidak seorang pun yang mengetahui kecuali Allah SWT. Bahkan seseorang yang baru saja makan atau minum di tempat yang sunyi kemudian ia bertemu dengan orang lain, maka tidak terlihat tanda bahwa ia tidak berpuasa. Begitu juga sebaliknya, ketika seseorang yang sedang berpuasa, kemudian ia berinteraksi dengan orang lain, maka tidak ada perbedaan antara dirinya dengan yang lain. Berbeda dengan amalan ibadah lainnya seperti shalat, zakat dan haji yang terlihat ada gerakannya, objeknya atau simbolnya. Karena perbedaan inilah, Allah berfirman melalui hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi:
كل عمل ابن آدم له إلا الصوم فإنه لي وأنا أجزي به
Artinya: Semua amalan ibadah anak Adam itu menjadi miliknya, kecuali puasa. Sesungguhnya puasa itu milikku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.
Hadis Qudsi di atas menunjukkan keistimewaan ibadah berpuasa bila dibandingkan dengan amalan ibadah lainnya. Keistimewaan yang dimaksud di sini adalah rahasia antara seorang hamba dengan Allah SWT yang sedang melaksanakan ibadah puasa tanpa diketahui oleh orang lain. Makanya, di sini pula letak kesalehan individu seorang hamba dengan Tuhannya.
Walaupun demikian, dari amal ibadah puasa ini juga terdapat dimensi kemanusiaan, yaitu menjalin hubungan yang baik antara seorang manusia dengan manusia yang lain atau bahasa lainnya adalah kesalehan sosial. Di antara dimensi kemanusiaan yang terdapat dalam amalan ibadah berpuasa adalah tumbuhnya rasa peka terhadap orang-orang lemah secara ekonomi. Di saat seseorang yang menjalani ibadah puasa, ia merasakan kelaparan dan dahaga, meskipun di sisinya terdapat makanan dan minuman. Dengan demikian, akan timbul rasa keikutsertaan dalam kelaparan dan kedahagaan sebagaimana yang dirasakan oleh kaum fakir dan miskin selama ini. Keikutsertaan dalam kelaparan dan kedahagaan meskipun satu bulan, akan menumbuhkan kesadaran manusia untuk berbagi rezekinya kepada orang-orang lemah yang tidak mampu memperoleh rezeki Allah karena keterbatasannya. Oleh karena itu, seorang yang melakukan ibadah puasa akan merasa iba kepada fakir dan miskin, sehingga ia akan termotivasi untuk senantiasa menyisihkan rezeki yang ia peroleh kepada mereka yang lemah secara ekonomi. Hal tersebut karena ia sudah pernah merasakan bagaimana sengsaranya menahan rasa lapar dan dahaga, meskipun hanya sebulan dan itu pun terhitung dari waktu subuh hingga tibanya waktu magrib di setiap harinya.
Selain tumbuhnya rasa peka terhadap orang-orang lemah, dimensi kesalehan sosial yang kedua dalam ibadah berpuasa adalah menumbuhkan rasa kejujuran dalam hati seseorang. Kejujuran ini diperoleh dari sifat ibadah puasa itu sendiri yang tidak memiliki tanda, simbol atau gerakan, sehingga tidak seorang pun yang tahu, kecuali Allah SWT. Nurcholish Madjid dalam sebuah bukunya berjudul “Atas Nama Pengalaman Beragama dan Berbangsa di Masa Transisi” mengatakan bahwa ibadah berpuasa dapat mendidik seseorang untuk berlaku jujur dan tidak melakukan korupsi. Sebagaimana seseorang meyakini bahwa Allah pasti melihat dan mengetahui dirinya jikalau makan dan minum di dalam kamar, maka demikian juga ia akan meyakini bahwa Allah akan melihat dan mengetahui kalau dirinya mencuri uang rakyat atau menyalahgunakan kekuasaan, meskipun secara hukum manusia ia bisa terlepas. Menurut Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid), keimanan seseorang yang berpuasa harus dapat diterjemahkan ke dalam kehidupan sehari-hari meskipun ia sedang berada di kantor atau di tempat pekerjaan yang lain. Karena Allah pasti bisa melihat dan mengetahui apa yang tidak bisa dilihat dan diketahui oleh manusia lain, maka ia akan takut untuk berbuat kejahatan meskipun tidak ada orang yang tahu.
Dimensi kesalehan sosial yang terakhir dalam ibadah berpuasa adalah mendidik umat manusia untuk tidak serakah, loba, tamak atau rakus. Definisi berpuasa (as-shiyam) secara bahasa adalah menahan diri (al-imsak). Definisi secara bahasa ini juga memiliki korelasi dengan definisi secara istilah, yaitu menahan diri dari perbuatan yang dapat membatalkan puasa dari terbit fajar hingga terbenam matahari, adapun letak persamaannya adalah sama-sama menahan diri.
Semua orang tahu bahwa dalam diri manusia itu memiliki potensi untuk bersifat serakah. Hal ini juga dipertegas oleh Al-Qur’an dan al-Hadist. Misalnya: Surat al-Takasur dan Surat al-Humazah. Selain itu, Nabi Muhammad SAW juga pernah bersabda yang artinya:
“Seandainya manusia diberi dua lembah berisi harta, tentu ia masih menginginkan lembah yang ketiga. Yang bisa memenuhi dalam perut manusia hanyalah tanah. Allah tentu akan menerima taubat bagi siapa saja yang ingin bertaubat” (HR Bukhori, Nomor 6436)
Karena manusia memiliki potensi untuk serakah, maka menjalani ibadah berpuasa itu dapat mendidik dan melatih manusia untuk bersifat menerima apa adanya atau lebih dikenal dengan istilah agamanya sebagai sifat qana’ah. Sifat serakah ini bersumber dari hawa nafsu. Ketika hawa nafsu sudah dapat kendalikan dengan amalan ibadah puasa, maka sepantasnya sifat serakah itu juga akan terkikis dalam jiwa manusia.
Di sini penulis memberikan sebuah ilustrasi untuk mengukur apakah dalam diri kita masih terdapat sifat serakah? Apakah pengeluaran keuangan di bulan puasa, khususnya untuk kebutuhan dapur itu lebih besar atau lebih kecil bila dibandingkan dengan pengeluaran di luar bulan puasa? Jika jawabannya lebih besar maka itu menandakan sifat serakah masih tertanam dalam hati kita. Akan tetapi jika jawabannya lebih kecil, maka hal itu menunjukkan bahwa sifat serakah dalam hati kita sudah terkikis. Bukankah di waktu berpuasa kita hanya makan sehari 2 kali (sahur dan berbuka), sementara di luar bulan puasa kita makan tiga kali sehari (pagi, siang dan malam). Apalagi semangat berpuasa itu adalah menahan diri dari segala sesuatu yang sebenarnya kita memilikinya, namun kita tidak boleh menggunakannya.
Ilustrasi itu untuk mengukur keserakahan yang bersifat lebih kecil, karena lingkupnya pribadi atau keluarga dalam kehidupan sehari-hari di rumah. Namun jika dibawa ke lingkup yang lebih besar, yaitu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara maka efeknya akan berdampak negatif bagi banyak orang. Inilah sesungguhnya persoalan yang dihadapi oleh bangsa dan negara Indonesia hari ini, yaitu sifat serakah para penguasa yang tidak merasa cukup dengan apa yang sudah dimilikinya, padahal mereka sudah punya gaji, tunjangan dan fasilitas yang memadai. Sifat serakah inilah yang menggerogoti anggaran negara (baik APBN ataupun APBD) dengan korupsi, sehingga pembangunan untuk kesejahteraan rakyat sulit diwujudkan.
Tiga contoh dimensi kesalehan sosial dalam ibadah puasa di atas (sebenarnya masih banyak lagi, namun karena keterbatasan ruang hanya disebut tiga saja) hendaknya mampu kita terjemahkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut karena setiap amalan ibadah dalam agama Islam terdapat dua sisi, yaitu ketuhanan dan kemanusiaan, sehingga kita semua mampu menjadi saleh secara individu dan saleh secara sosial. Keseimbangan ini perlu dijaga agar kehadiran agama berpengaruh secara langsung pada kehidupan kita sehari-hari.
Di akhir tulisan ini, penulis ingin mengutip pendapat Nurcholish Madjid dalam bukunya “Kehampaan Spritual Masyarakat Modern: Respon dan Transformasi Nilai-Nilai Islam Menuju Masyarakat Madani” bahwa tujuan paling penting dalam amalan-amalan keagamaan adalah untuk mendidik kita agar memiliki pengalaman Ketuhanan dan menanamkan kesadaran Ketuhanan yang sedalam-dalamnya. Sebab dari kesadaran Ketuhanan itulah memancarkan seluruh sikap hidup yang benar yang membimbing manusia ke arah kebaikan demi memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat.
Demikianlah untuk mengingatkan kita semua agar setiap amalan ibadah yang kita kerjakan sehari-hari akan turut berpengaruh dalam setiap tindakan kita sehari-hari. Ingat, agama tidak hanya mengajarkan kita menjadi saleh secara individu, akan tetapi juga saleh secara sosial ! Selamat menjalani ibadah puasa di bulan Ramadhan 1441 H.
Penulis:
Ketua Program Studi Bahasa dan Sastra Arab
Fakultas Adab dan Humaniora UIN Ar-Raniry