Moderasi Beragama Dalam Konteks Budaya

Salah satu permasalahan kebangsaan hari ini adalah meruncingnya konsep bernegara dan beragama. Dilema ini semakin memuncak khususnya ketika gesekan politik membawa embel-embel agama sebagai atribut yang paling ‘murah’ namun sangat efisien dalam meraup suara. Titik baliknya, rakyat dan masyarakat selaku konsumen politik menjadi bulan-bulanan pemangku kepentingan yang berakhir pada lahirnya disintegrasi bangsa. Sikap ini kemudian tertanam dalam jati diri para pemeluk agama, keyakinan bahwa aliran atau agama sendiri yang boleh eksist membuat pemahaman keagamaan terisolasi dan memunculkan karakter beragama yang inklusif. Pada akhirnya, para pemeluk agama fokus dalam ajarannya secara sempit. Mereka tutup mata dengan permasalahan sosial di luar golongannya. Secara berkesinambungan ini melahirkan konsep beragama yang tajam ke atas namun tumpul ke samping. Padahal, agama bukanlah ajaran yang hanya fokus pada urusan ibadah semata, melainkan turut diseimbangkan dengan perkara sosial. Menyikapi gesekan ini, pemerintah mencanangkan berbagai gerakan moderasi beragama pada berbagai dimensi. Moderasi beragama diyakini sebagai solusi terbaik tanpa melibatkan pergerakan militer atau tindakan yang melahirkan pertumpahan darah. Moderasi beragama berupaya mencerdaskan masyarakat yang awalnya berfikir sempit (fanatik) menjadi lebih terbuka (toleran). Moderasi beragama bukanlah teori atau gagasan baru, ini adalah teori lama yang sudah ada dalam Alquran dengan sebutan ‘Islam wasattiyah’. Moderasi beragama juga menjadi salah satu prioritas di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 Kementerian Agama.