Adat Takanai: Penyelesaian Sengketa Masyarakat Suku Jamee

Dedy Sumardi, 2030047801 (2023) Adat Takanai: Penyelesaian Sengketa Masyarakat Suku Jamee. LP2M UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Banda Aceh.

[thumbnail of Berisi tentang Adat Takanai: Penyelesaian Sengketa Masyarakat Suku Jamee] Text (Berisi tentang Adat Takanai: Penyelesaian Sengketa Masyarakat Suku Jamee)
Laporan Penelitian-Takanai-Dedy Sumardi-2014.pdf - Published Version
Available under License Creative Commons Attribution.

Download (15MB)

Abstract

Penelitian ini bertujuan menggali nilai-nilai dalam adat takanai sebagai salah satu kearifan lokal dalam masyarakat suku Jamee di Aceh. Ia dipandang sebagai simbol perdamaian dalam upaya menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam kehidupan masyarakat suku Jamee. Tujuan penelitian memperoleh gambaran bentuk-bentuk perbuatan yang diselesaikan melalui adat takanai dan menganalisis keterkaitan adat takanai dengan modernisasi dalam persoalan penyelesaian sengketa. Kegunaannya teroptimalisasinya peran adat takanai dalam kehidupan masyarakat modern, sehingga hukum adat mampu menunjukkan eksistensinya di era modern sebagai upaya meminimalisir perselisihan yang terjadi di gampoeng. Hasil temuan menunjukkan adat takanai mampu memperkuat upaya memperbaiki pelaku kejahatan dan hubungan sosial sesama anggota masyarakat. Upaya ini merujuk pada prinsip yang dianut dalam sistem adat takanai yaitu prinsip keseimbangan dan keharmonisan. Kedua prinsip ini terwujud dalam bervariasinya sanksi atau denda adat dalam bentuk hewan (kambing atau kerbau) dan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan sesuai jenis dan bentuk sengketa yang terjadi. Sanksi atau denda adat ini digunakan untuk acara kenduri perdamaian adat dengan mengikutsertakan pimpinan adat atau hukum, masyarakat serta niniak mamak menjadi perekat sebuah putusan damai. Peran dan fungsi niniak mamak memiliki posisi sentral dalam menjaga hubungan silaturrahmi sesama kerabat dan sesama masyarakat lainnya, termasuk mengambil dan menentukan semua keputusan atau musyawarah keluarga. Keberadaan niniak mamak menunjukkan bahwa perempuan turut serta mempererat hubungan kekerabatan dalam tradisi aneuk jamee. Persyaratan menjadi niniak mamak disamping dikarenakan hubungan darah, juga orang tua dalam arti kepemimpinan dan memiliki wibawa. Persayaratan ini tidak hanya berlaku bagi laki-laki saja, tetai juga pada perempuan selama hubungan kekerabatannnya dari garis keturuann ibu. Dalam sistem perwalian adat Aceh, niniak mamak setara dengan wali karung. Sedangkan dalam sistem kekerabatan kewarisan Islam niniak mamak adalah ahli waris ashhabul furudh, yaitu saudara laki-laki atau saudara perempuan pewaris. Sekalipun niniak mamak memiliki peran sentral dalam sistem kekerabatan aneuk jamee, namun memiliki keterbatasan dalam persoalan perwalian pernikahan.

Item Type: Other
Subjects: 300 Sociology and Anthropology (Sosiologi dan Antropologi) > 340 Law/Ilmu Hukum
300 Sociology and Anthropology (Sosiologi dan Antropologi) > 390 Customs, Etiquette, Folklore (Adat Istiadat, Etiket, Folklor)
Divisions: Fakultas Syariah dan Hukum > S1 Tata Negara
Depositing User: Dedy Sumardi
Date Deposited: 28 Apr 2023 08:57
Last Modified: 28 Apr 2023 08:57
URI: https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/28354

Actions (login required)

View Item
View Item