Ta'un Narasi Covid-19 di Aceh

Istilah social distancing, atau disebut juga physical contact, pada prinsipnya adalah menjaga jarak fisik atau physical distancing. Social distancing bertujuan mengurangi atau menghalangi transmisi wabah (termasuk COVID-19) dalam masyarakat dengan meminimalkan kontak fisik antara individu yang berpotensi terinfeksi dan orang sehat,atau antara kelompok dengan tingkat penularan tinggi dan kelompok yang tanpa atau tingkat penularan rendah.1 Social distancing adalah penanganan bencana pandemic bidang Komunikasi Resiko dan Pemberdayaan Masyarakat (KRPM), yang diadopsi dari panduan WHO tentang Risk Communication and Community Engagement2 . KRPM menggunakan strategi yang melibatkan masyarakat dalam kesiapsiagaan dan respon serta mengembangkan intervensi yang dapat diterima dan efektif untuk menghentikan penyebaran wabah yang semakin meluas serta dapat melindungi individu dan komunitas.3. Social distancing menjadi harapan terbesar untuk mengurangi percepatan penyebaran Covid 19. Hanya saja
penerapan social distancing ini tidak sesederhana seperti yang tertulis, karena pembatasan sosial pastinya bersentuhan dengan seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Social distancing di Aceh punya tantangan tersendiri, karena ciri masyarakatnya yang khas. Masyarakat Aceh memiliki 1001 acara ritual kebersamaan (seperti kandoeri). Negeri ini juga punya 1001 warung kopi yang mengakar di keseharian masyarakat. Nilai keacehan juga identik dengan Islam. Mesjid dan meunasah selalu hidup dengan aktifitas
sosial keagamaan. Menghimbaunya untuk dibatasi, serta merta menimbulkan kecurigaan masyarakat. Sebagiannya menganggap ada upaya untuk melemahkan umat Islam, lalu muncul resistensi.