Hermeneutika Sahiron Syamsuddin dan Penafsiran Kepemimpinan Perempuan Reinterpretasi QS Al-Nisa’ :34

Kepemimpinan adalah unsur yang penting dalam bermasyarakat untuk dijadikan sebagai rujukan dalam kehidupan sosial. Isu tentang kepemimpinan perempuan merupakan sebuah permasalahan yang terus menjadi kontroversial dan banyak diperdebatkan. Qur’an Surah Al-Nisa’ ayat 34 kerap dipakai sebagai landasan untuk membatasi gerak perempuan untuk melakukan aktivitas dalam ruang lingkup rumah tangga dan ruang lingkup publik. Ayat Sering dijadikan indikasi penolakan untuk perempuan tampil di wilayah publik sebagai pemimpin, sebagai serangan politik bagi perempuan dan tameng untuk penolakan peran perempuan dalam aktivitas umat. Perbedaan pemahaman tentang Qur’an surah Al-Nisa’ ayat 34 terus menjadi polemik yang seringkali memposisikan perempuan dibelakang laki-laki.
Penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan masalah ini memakai metode penelitian kajian pustaka. Data dan informasi dalam penelitian ini diproleh dari materi pustaka, beberapa buku, penelitian ilmiah, jurnal dan beberapa sumber rujukan lainnya yang berdasarkan pada karya tertulis. Penelitian ini mengunakan metode kualitatif deskriptif- analitis.
Fokus penelitian ini adalah usaha memasukkan metode hermeneutika yang digagas oleh Sahiron Syamsuddin. Pendekatan teori Ma’na Cum Maghza digunakan untuk menghasilkan penafsiran ulang pada Qur’an Surah Al-Nisa’ ayat 34. Teori Ma’na Cum Magzha adalah teori interpretasi yang menyeimbangkan antara pembaca makna literal dan pesan utama. Ma’na cum magzha terdiri dari tiga kata, yaitu Ma’na dan Magzha yang diserap dari kosakata bahasa arab, dan Cum merupakan bahasa latin. Teori Ma’na Cum Maghza adalah hasil elaborasi dari teori dan konsep Gadamer, Nasr Hamid Abu Zayd, dan Fazlur Rahman. Pendekatan ini dimulai dari analisa kebahasaan, konteks historis mikro dan makro, dan mencari signifikansi fenomenal historis dengan melibatkan kajian linguistik al-Qur’an, kajian intelektual, intrertekstual dan maqs}}ad-magz|a al-ayah, dan terakhir mencari signifikansi fenomenal dinamis. Hasil dari reinterpretasi Qur’an Surah Al-Nisa’ ayat 34, ayat ini merupakan ayat kultural bukan normatif, Qur’an Surah Al- Nisa’ ayat 34 memberikan gambaran budaya Arab saat itu yang tidak memberikan ruang kebebasan perempuan. Terjadi diskriminatif terhadap perempuan jika Qur’an Surah Al-Nisa’ ayat 34 hanya dipahami mengunakan pendekatan tekstual. Kalangan tertentu sering memakai potongan ayat ini untuk kepentingan pribadi, untuk membenarkan statmen bahwa laki-laki lebih berhak menjadi pemimpin daripada perempuan. Dari hasil kajian ini mendapati bahwa pernyatan tersebut tidak benar, karena seluruh kesatuan ayat membahas tentang kewajiban suami terhadap istri dan tindakan nusyuz. Oleh sebab itu kajian Qur’an Surah Al-Nisa’ ayat 34 tidak berbicara mengenai kepemimpinan secara umum, tapi kepemimpinanan dalam lingkup keluarga. Dalam penafsiran Qur’an Surah Al-Nisa’ ayat 34 memberikan syarat dan kelebihan yang harus dimiliki seorang pemimpin, baik dari aspek keilmuaan, spiritual, dan material, bukan larangan perempuan menjadi pemimpin.