Rizal Pahlefi, 221006007 (2024) Konsep Nasakh al-Qur’an (Studi Komparasi Mannā‘ al-Qaṭṭān dan Quraish Shihab). Masters thesis, Universitas Islam Negeri Ar-raniry Banda Aceh.
Rizal Pahlefi, 221006007.pdf
Download (3MB)
Abstract
Pembahasan nasikh mansukh adalah tema krusial dalam ilmu-ilmu al-Qur’an, di mana selama ini nasakh telah dipahami sebagai sesuatu yang telah dihapus. Padahal kenyataannya ia memiliki makna yang komprehensif, serta memiliki konsekuensi hukum. Dari itu, studi ini mengambil dua pakar ilmu-ilmu al-Qur’an dan tafsir yang berbeda pandangan dalam memahami makna nasikh mansukh dan konsekuensi hukumnya, yakni; Manna’ Khalil al-Qaṭṭān dan Quraish Shihab. Kajian ini ingin menjawab bagaimana gagasan keduanya terkait konsep nasikh mansukh; serta implikasi perbedaan keduanya terhadap ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Muqarran (perbandingan), dengan menalaah karya kedua tokoh yang dibahas kemudian di bandingkan dengan karya ulama lainnya terkait nasakh dalam al-Qur’an, dalam menimbang kajian dua tokoh yang dibahas dalam tulisan ini penulis merujuk tema nasakh dalam kitab al-Nāwāsikh fī al-Qur’an karya Mustafa Zaid.
Penelitian ini menemukan bahwa, Pertama; Mannā’ al-Qaṭṭān memandang bahwa nasakh mengandung arti al-Izālah (menghapus), pemaknaan al-Izālah oleh al-Qaṭṭān berdasarkan pemaknaan kata dasar yang banyak dipahami oleh ulama mutakkhirin yaitu seperti makna Nasakhat al-rīḥ athara “angin menghapuskan jejak perjalanan”, pemaknaan tersebut pula cendrung dipahami oleh ulama yang menganggap bahwa adanya nasakh dalam al-Qur’an. Berbeda dengan Quraish Shihab, ia mengartikan nasakh dengan al-Naql (pemindahan). Argumen yang dikemukan oleh Quraish Shihab adalah semua ayat-ayat al-Qur’an tidak ada yang kontradiktif, oleh sebab itu makna nasakh lebih tepat dipahami dalam ayat-ayat al-Qur’an sebagai makna tabdīl sebagaimana yang disebutkan pada ayat 101 surah al-Nahl.
Perbedaan definisi keduanya mengakibatkan munculnya dua konsekuensi hukum yang berbeda jika makna nasakh dipahami sebagai izālah maka konsekuensi hukumnya adalah ayat yang terakhir turun yang menghapus hukum diawal dan ayat terakhir tersebut yang berlaku selamanya. Sedangkan jika nasakh dipahami sebagai makna tabdīl maka semua ayat tetap berlaku hukumnya, hanya perlu disesuaikan dengan kondisi sosial. Perbedaan konsep kedua tokoh ini pada dasarnya memiliki titik temu pada aspek makna dan praktik, yaitu dengan membiarkan makna asal nasakh sebagai Izālah dan dalam praktiknya sebagai al-Tabdīl.
Penulis merekomendasikan kepada peneliti lainnya untuk melakukan kajian lebih mendalam terutama dalam mengkaji term makna nasakh dalam al-Qur’an terutama dalam kitab al-Naskh fī al-Qur’an al-Karīm karya Musṭafa Zaid.
Item Type: | Thesis (Masters) |
---|---|
Subjects: | 200 Religion (Agama) > 203 Ibadah Umum dan Praktik lainnya 200 Religion (Agama) > 207 Misi dan Pendidikan Agama |
Divisions: | Program Pascasarjana > S2 Ilmu Al-Quran dan Tafsir |
Depositing User: | Rizal Pahlefi |
Date Deposited: | 23 Sep 2024 03:09 |
Last Modified: | 23 Sep 2024 03:09 |
URI: | https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/39212 |