Pernikahan dalam Islam merupakan institusi sakral yang bertujuan membentuk keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Di dalamnya terkandung hak dan kewajiban suami istri yang harus dijalankan secara proporsional. Namun, munculnya praktik nikah misyar suatu bentuk pernikahan yang membebaskan suami dari kewajiban nafkah dan tempat tinggal menimbulkan perdebatan mengenai kesesuaiannya dengan nilai-nilai Islam, terutama dalam konteks masyarakat yang menjunjung tinggi Syari’at seperti di Kota Banda Aceh. Yang menjadi substansi kajian penelitian ini: (1) Bagaimana kedudukan nikah misyar menurut Hukum Islam?, (2) Bagaimana perspektif Ulama Dayah Kota Banda Aceh terkait nikah misyar?. Penelitian ini bertujuan: (1) mengetahui kedudukan nikah misyar menurut hukum Islam (2) menggali pandangan Ulama Dayah Kota Banda Aceh mengenai praktik nikah misyar tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis empiris dengan metode kualitatif melalui wawancara terhadap tiga ulama dari Dayah Mabdaul Ulum Al-Aziziyah, Dayah Terpadu Inshafuddin, dan Dayah Mini Aceh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nikah misyar dianggap sah secara fikih apabila memenuhi rukun dan syarat pernikahan serta didasari kerelaan kedua belah pihak. Namun, ketiga ulama sepakat bahwa praktik ini tidak layak dilegalkan secara luas karena berpotensi merugikan perempuan dan menyimpang dari tujuan ideal pernikahan dalam Islam. Oleh karena itu, nikah misyar hanya dibenarkan dalam kondisi darurat dan tidak layak dijadikan sebagai norma dalam masyarakat.