Penelitian ini mengkaji keberadaan korban dalam sistem hukum pidana yang sering mendapat perhatian kurang proporsional dibandingkan pelaku. Korban tidak hanya membutuhkan perlindungan fisik dan mental, tetapi juga hak restitusi sebagai bentuk pemulihan atas kerugian yang dialami. Namun, dalam Putusan Nomor 7/JN/2024/MS.BNA, restitusi tidak diberikan kepada korban pemerkosaan anak, meskipun diatur secara jelas dalam hukum.
Pendekatan penelitian menggunakan case approach dengan fokus pada analisis mendalam Putusan Nomor 7/JN/2024/MS.BNA. Bahan hukum primer berupa Pasal 51 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, sedangkan bahan hukum sekunder meliputi buku, jurnal, dan sumber relevan lain. Data dianalisis secara kualitatif deskriptif untuk memahami pertimbangan hakim dan konteks sosial hukum yang melatarbelakangi.
Hasil penelitian menunjukkan ketiadaan restitusi disebabkan oleh tidak adanya permohonan resmi dari korban, jaksa tidak mencantumkan tuntutan restitusi, serta rendahnya kesadaran aparat hukum terhadap hak korban. Faktor lain adalah tidak adanya pendamping hukum, kondisi ekonomi pelaku, dan belum optimalnya penerapan PERMA Nomor 1 Tahun 2022. Dari perspektif viktimologi, ketiadaan restitusi mencerminkan lemahnya perlindungan korban dalam sistem peradilan pidana Aceh meskipun telah ada dasar hukum melalui Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014. Hal ini mengabaikan hak pemulihan