Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis fenomena toxic communication berupa pertanyaan “kapan nikah” yang kerap dialami perempuan dewasa lajang di Lhoksukon. Pertanyaan yang sering dianggap basa-basi ini pada kenyataannya dapat menimbulkan tekanan sosial, perasaan tidak nyaman, hingga gangguan emosional. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif, melibatkan 30 informan perempuan lajang yang dipilih secara purposive. Fokus kajian meliputi bentuk-bentuk toxic communication, respons yang ditunjukkan informan, serta dampaknya terhadap kondisi psikologis. Hasil penelitian menunjukkan tiga pola utama komunikasi toksik, yaitu sindiran atau sarkasme, labelisasi negatif seperti sebutan “perawan tua”, serta praktik gaslighting yang meremehkan perasaan informan. Untuk merespons, para informan menerapkan strategi komunikasi beragam, mulai dari menjawab santai, menggunakan humor, hingga bersikap tegas atau defensif. Dampak yang dirasakan mencakup ketidaknyamanan, kemarahan, frustrasi, overthinking, hingga kecenderungan menormalkan pertanyaan tersebut sebagai bagian dari budaya. Temuan ini kemudian dihubungkan dengan Teori Aprehensi Komunikasi, yang menjelaskan bagaimana pertanyaan berulang “kapan nikah” dapat memicu kecemasan komunikasi dan membentuk pola respon adaptif. Penelitian ini diharapkan memberi kontribusi pada kesadaran masyarakat agar lebih bijak dalam bertanya serta mendukung perempuan lajang dalam menghadapi komunikasi toksik di lingkungannya