Nafkah anak itu ditanggung oleh ayah baik dalam ikatan pernikahan maupun sudah tidak dalam ikatan pernikahan atau perceraian. Namun hal ini berbeda apabila ketiadaan peran ayah akibat kematian. Ketiadaan seorang ayah yang diakibatkan oleh kematian dapat dibebankan nafkah pada wali seperti dalam pasal 104 ayat (1) KHI. Anak yatim, sebagai kelompok rentan, memerlukan perlindungan dan perhatian khusus, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam konteks hukum Islam, kewajiban nafkah merupakan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh wali, baik itu ayah, kakek, atau kerabat dekat lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kewajiban nafkah anak yatim oleh wali dalam perspektif hukum Islam, dengan fokus pada studi kasus di Kecamatan Syiah Kuala. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode wawancara dan observasi untuk mengumpulkan data dari Sembilan (9) orang anak yatim dan juga orang yang mengasuh anak yatim. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih kurangnya kesadaran wali untuk memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang yang memelihara dan memenuhi kebutuhan anak yatim dan masih ada tantangan dalam pelaksanaannya, seperti keterbatasan ekonomi dan kurangnya pemahaman tentang hak-hak anak yatim dan juga tantangan lainnya. Oleh karena itu, diperlukan upaya peningkatan pemahaman hukum Islam dan dukungan dari pemerintah serta masyarakat untuk memastikan pemenuhan hak-hak anak yatim di Kecamatan Syiah Kuala.