Aceh memiliki kekhususan dalam penyelenggaraan hukum adat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Kekhususan tersebut diwujudkan melalui Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, yang memberikan kewenangan kepada aparatur Gampong dan Lembaga Adat dalam menyelesaikan sengketa masyarakat maupun tindak pidana ringan melalui mekanisme musyawarah. Mekanisme ini sejalan dengan prinsip keadilan restoratif yang mengutamakan perdamaian, pemulihan hubungan sosial, dan pelestarian nilai budaya lokal. Namun, penerapan Qanun tersebut di Kecamatan Permata Kabupaten Bener Meriah belum sepenuhnya efektif. Beberapa kasus seperti pencurian hewan ternak, perselisihan batas lahan, dan konflik antar warga sering tidak diselesaikan tuntas melalui Peradilan Adat, bahkan sebagian dilimpahkan langsung kepada aparat kepolisian. Hal ini menunjukkan adanya hambatan baik secara struktural, seperti keterbatasan pemahaman aparatur dan lemahnya koordinasi dengan penegak hukum, maupun secara kultural, seperti rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap mekanisme adat. Penelitian ini menggunakan metode yuridis-empiris dengan pendekatan studi kasus dan Peraturan Perundang-undangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 di Kecamatan Permata belum berjalan efektif, sehingga diperlukan penguatan kapasitas aparatur, optimalisasi peran Lembaga Adat, serta peningkatan legitimasi masyarakat terhadap penyelesaian sengketa berbasis hukum adat