Tingginya angka kekerasan terhadap anak di sekolah menjadi perhatian serius di lingkungan sekolah. Hal ini diperlukan tindakan agar terciptanya lingkungan belajar yang nyaman, aman, dan bebas dari kekerasan. Untuk mengatasi hal ini salah satunya melalui penerapan Program Sekolah Ramah Anak yang mengacu pada Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Anak Nomor 8 Tahun 2014. Di Kota Banda Aceh, implementasi program ini masih menghadapi kendala seperti keterbatasan fasilitas ramah pada anak, keterbatasan anggaran, dan belum adanya regulasi khusus di tingkat daerah. Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis implementasi kebijakan Sekolah Ramah Anak di Kota Banda Aceh menggunakan model Van Meter dan Van Horn yang terdiri dari enam variabel: standar dan tujuan kebijakan, sumber daya, komunikasi antar-aktor, sikap implementor, komunikasi antarorganisasi, serta lingkungan eksternal, serta mengidentifikasi faktor pendukung dan penghambat dalam pelaksanaan kebijakan Sekolah Ramah Anak di Kota Banda Aceh. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif deskriptif, dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan SRA di Kota Banda Aceh belum sepenuhnya mencapai target. Masih ada sekolah yang belum menerapkan prinsip SRA, terutama dalam menciptakan lingkungan yang nyaman bagi anak penyandang disabilitas, serta belum adanya kebijakan khusus di tingkat daerah. Beberapa sekolah telah menyediakan sarana pendukung, melibatkan anak dalam kegiatan, dan bekerja sama dengan orang tua, namun penerapan belum merata. Faktor pendukung meliputi dukungan anggaran pemerintah dan penyediaan sarana prasarana, sementara hambatannya adalah keterbatasan anggaran, belum meratanya pelatihan guru, fasilitas yang masih terbatas, rendahnya partisipasi orang tua, serta pengaruh media sosial dapat mempengaruhi perilaku anak.