Penelitian ini dilatarbelakangi dengan ditemukannya di Kota Banda Aceh pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, Selanjutnya juga Aceh dijuluki sebagai Kota “Serambi Mekkah” yang berpusat di Kota Banda Aceh tentunya menjadi sorotan dan contoh bagi daerah lain yang ada di Aceh. Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, untuk membatasi masalah yang diteliti maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : 1) Bagaimana adat pertunangan di Kota Banda Aceh? 2) Bagaimana bentuk pergaulan pasca pertunangan pada masyarakat kota Banda Aceh? 3) Bagaimana pandangan hukum Islam terhadap pergaulan pasca pertunangan pada masyarakat Kota Banda Aceh? Metode yang digunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dengan 2 jenis penelitian yakni Penelitian lapangan (field research) dan Penelitian Pustaka (library research). Dalam penelitian ini yang menjadi Informan adalah Kepala KUA pada 3 Kecamatan atau orang yang direkomendasikan langsung olehnya, selanjutnya dalam penelitian ini yang menjadi responden adalah calon pengantin yang berkunjung ke kantor KUA pada tiga Kecamatan yakni Kecamatan Syiah Kuala, Kecamatan Kuta Alam, dan Kecamatan Baiturrahman. Dari paparan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa Adat di Kota Banda Aceh biasanya dikenal dengan “Mee Tanda” yang awal mulanya keluarga linto baro dengan pihak keluarga dara baro dimediasi oleh orang ketiga yang disebut dengan seulangke. Juga pergaulan pasca pertunangannya yakni ikhtilat, khalwat, bonceng bersama, dan saling mengenal.