Buku ini cukup menarik sebab menjelaskan tentang teori maqāṣid tidak hanya menurut pendapat al-Ghazālī, al-Syāṭibī dan Ibn ‘Āsyūr. Bagi penulis ini merupakan penembangan spektakuler, sebab sebelumnya teori maqāṣid menggunakan satu perspektif saja, yaitu perspektif maqāṣid al-syarī‘ah. Dari itu al-Ghazālī yang membuat sistematika (setelah cikal-bakal maqāṣid dirumuskan al-Juwayni, malah membaasi al-maslahat al-mursalah pada tataran daruriyyah saja. Ia juga menyatakan mardud-nya al-maslahat al-gharibah, karena dilihat sebagai maqāṣid al-khalq yang bertentangan secara diametral dengan maqāṣid al-syarī‘ah. Penulis menduga ini terjadi karena al-Ghazālī memegang teori rujū‘ ila asli mu‘ayyan. Jadi al-Ghazālī membangun dikotomi antara maqāṣid al-Syāri‘ dengan maqāṣid al-khalq. Dikotomi ini sedikit berkurang dalam teori yang dibangun oleh al-Syāṭibī (rujū‘ ila usul al-syarī‘ah al-kulliyyah). Tetapi ia tidak keluar dari paradigma linguistic-teologik. Akibatnya al-maslahat al-gharibah juga mardud baginya. Pada dasarnya penerimaan Ibn ‘Āsyūr terhadap al-maslahat al-gharibah karena ada perubahan paradigmatik. Kalau tidak bagaimana mungkin ia bisa keluar dari dikotomi antara maqāṣid al-Syāri‘ dan maqāṣid al-khalq. Tetapi ia tidak merasa perlu mengubah paradigma sehingga tetap membahas maqāṣid dari perspektif maqāṣid al-syarī‘ah. Bagi Ibn ‘Āsyūr, kaidah umum syariat cukup dijadikan rujukan saat adanya pertentangan dengan nas.