Diskursus tentang kepemimpinan non-muslim di wilayah dengan mayoritas penduduk muslim masih menjadi kontroversi. Hal ini disebabkan karena perbedaaan para mufassir dalam memahami kata awliyā’ QS. al-Ma’idah ayat 51. Setiap mufassir mempunyai pemahaman tersendiri yang berbeda dengan mufassir lainnya. Dari berbagai penafsiran tersebut, peneliti dalam tesis ini akan menjelaskan penafsiran kata awliyā’ menurut Hamka dalam Tafsir al-Azhar dan Qurasih Shihab dalam Tafsir al-Misbah. Tesis ini akan membandingkan penafsiran keduanya. Metode yang digunakan dalam penulisan tesis ini adalah metode komparatif (muqārin), dengan jenis penelitian kepustakaan (library research) serta pendekatan kualitatif dalam paradigma bahasa. Tesis ini menyimpulkan bahwa Hamka menafsirkan QS. al- Ma’idah ayat 51 sebagai pemimpin, dan sebagai Implikasi dari penafsirannya, Hamka melarang secara mutlak menjadikan non- muslim sebagai pemimpin. Sedangkan Quraish Shihab menafsirkan QS. al-Ma’idah ayat 51 dengan beberapa makna, yaitu; pemimpin, penolong, pelindung, pengatur, kekasih, teman dekat, dan teman setia, dan sebagai implikasi dari penafsirannya, Quraish Shihab berpandangan, ayat tersebut tidak sebagai larangan mutlak menjadikan non-muslim sebagai pemimpin, sehingga ada pengecualian dalam pelaranganya.