Tradisi rabu abeh di Gampong Sungai Pauh, Kecamatan Langsa Barat, Kota Langsa adalah warisan budaya yang menggabungkan nilai kepercayaan dan doa bersama untuk menolak bala. Tradisi ini mengahdapi pandangan beragam, sebagian mendukungnya sebagai identitas budaya, sementara yang lain mengkritiknya sebagai bertentangan dengan aqidah Islam. Meski ada perbedaan dan pengaruh modernisasi, tradisi ini tetap relevan sebagai simbol budaya komunal. Penelitian ini bertujuan memahami tradisi tersebut, mengkaji aspek teologis, dan mengeksplorasi keberlanjutannya di tengah perubahan masyarakat. Penelitian tradisi rabu abeh di Gampong Sungai Pauh menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan teologis dan studi kasus. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi dari tokoh agama, adat, dan masyarakat. Analisis dilakukan untuk memahami makna, relevansi, dan keberlanjutan tradisi ini. Tradisi rabu abeh di Gampong Sungai Pauh mencerminkan hubungan sosial, budaya, dan agama, berakar pada keyakinan terhadap bala di bulan Safar, masyarakat melaksanakan doa bersama untuk menghindari malapetaka. Tradisi ini dijaga sebagai bagian dari pengamalan agama, sekaligus mempererat hubungan sosial antar masyarakat. Meskipun terdapat pengaruh kepercayaan lama dan perpaduan adat-agama, pelaksanaannya mulai terpengaruh tantangan ekonomi, sosial, dan globalisasi. Kritik muncul terkait kesesuaian tradisi dengan ajaran agama. Secara teologis, rabu abeh mencerminkan keyakinan terhadap kekuatan Ilahi, doa, zikir, dan penerimaan takdir dalam Islam.